Penanaman Nilai dalam Model Tadzkirah
Penanaman Nilai
dalam Model Tadzkirah
Tunjukan Teladan
Daryanto dan Suryatri Darmiatun (2013, hlm.
76) memaparkan bahwa “keteladanan merupakan perilaku, sikap dalam memberikan
contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan
bagi peserta didik”.
Abdul Majid dan Dian Andayani (2013, hlm.
120) mengatakan bahwa:
“konsep keteladanan ini sudah diberikan
dengan cara Allah mengutus Nabi Saw untuk menjadi panutan yang baik bagi umat
Islam sepanjang sejarah dan bagi semua manusia di setiap masa dan tempat.
Beliau bagaikan lampu terang dan bulan petunjuk jalan. Keteladanan ini harus
senantiassa dipupuk, dipelihara oleh para pengembang risalah salah satunya
adalah guru.
Arahkan
Selanjutnya, Ramayulis (2013, hlm. 167)
mengungkapkan “pengarahan sebagai upaya pendidik untuk mewujudkan kemana
peserta didik membina diri dan berkembang”. Muhammad Surya (dalam Abdul Majid,
2012, hlm. 121) mengatakan bahwa :
“bimbingan lebih merupakan suatu proses pemberian
bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing
agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, pengarahan diri dan perwujudan
diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri
dengan lingkungannya”.
Bimbingan dan latihan dilakukan secara
bertahap dengan melihat kemampuan yang dimiliki anak untuk kemudian diangkatkan
perlahan-lahan. Bimbingan dapat berupa lisan, latihan dan keterampilan.
Irwan Prayitno (dalam Abdul Majid, 2012, hlm.
121) mengatakan bahwa bimbingan dengan memberikan nasihat perlu memperhatikan
cara-cara sebagai berikut:
a.
Cara memberikan
nasihat lebih penting dibandingkan isi atau pesan nasihat yang akan
disampaikan.
b.
Memelihara
hubungan baik antara orang tua dengan anak, guru dengan murid, karena nasihat
akan mudah diterima bila hubungannya baik.
c.
Berikan nasihat
seperlunya dan jangan berlebihan. Nasihat sebaiknya tidak langsung, tetapi juga
tidak bertele-tele sehingga anak tidak bosan.
d.
Berikan dorongan
agar anak bertanggung jawab dan dapat menjalankan isi nasihat.
1.
Dorong
Abdul Majid dan Dian Andayani (2013, hlm. 122)
mengungkapkan “motivasi merupakan kekuatan yang menjadi pendorong kegiatan
individu untuk melakukan kegiatan mencapai tujuan”. Misalnya kegiatan seseorang
akan makanan menuntut seseorang terdorong untuk bekerja. Kebutuhan akan
pengakuan sosial mendorong seseorang untuk melakukan berbagai upaya kegiatan
sosial. Motivasi terbentuk oleh tenaga-tenaga yang bersumber dari dalam dan
dari luar individu. Terhadap tenaga-tenaga tersebut para ahli memberikan
istilah yang berbeda, seperti desakan atau drive,motif
atau motive, Kebutuhan atau need dan keinginan atau wish.
Desakan diartikan sebagai dorongan yang
diarahkan kepada pemenuhan jasmani. Motif adalah dorongan yang terarah kepada
pemenuhan kebutuhan psikis atau rohaniah. Kebutuhan merupakan suatu keadaan
dimana individu merasakan adanya kekurangan, atau ketiadaan sesuatu yang
diperlukan. Sedangkan wish atau
permintaan adalah harapan untuk mendapatkan atau memiliki sesuatu yang
dibutuhkan.
2.
Zakiyah
Abdul Majid dan Dian Andayani (2013, hlm. 124-126)
memaparkan “zakiyah artinya
murni-suci-bersih. Zakiyah lebih
dikaitkan dengan menanamkan rasa keikhlasan dalam diri anak. Ikhlas artinya
timbulkan ketulusan untuk melakukan sesuatu karena Allah. Ketulusan disebut
juga dengan ikhlas karena dengan ketulusan maka perbuatan seseorang akan
sempurna dan mencapai kesucian. Makna lain dari ikhlas adalah ‘kemurnian’,
perbuatan yang dilakukan dengan kemurnian akan menyelamatkan seseorang dari
kerusakan”.
3.
Kontinuitas
“Kontinuitas adalah sebuah proses pembiasaan
dalam belajar, bersikap dan berbuat” (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2013, hlm.
128). Al-quran menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu tekhnik atau metode
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan,
sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa
kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.
Al-Quran mempergunakan cara bertahap dalam
menciptakan kebiasaan yang baik, begitu juga dalam menghilangkan kebiasaan yang
buruk dalam diri seseorang. Dalam hubungan ini terdapat petunjuk nabi yang
menyentuh orang tua agar menyuruh anaknya menunaikan shalat pada usia tujuh
tahun, selanjutnya dibolehkan memukulnya jika anak itu sampai umur 10 tahun
belum juga melaksanakan sholat. Dalam upaya menciptakan kebiasaan baik ini,
Al-Quran antara lain menempuhya melalui dua cara yaitu sebagai berikut :
a.
Pertama,
dicapainya melalui bimbingan dan latihan. Mula-mula dengan membiasakan akal
pikiran dari pendirian-pendirian yang tidak diyakini kebenaranya dan
ikut-ikutan mencela orang-orang yang taklid buta (Q.S Al Zukhruf [43]:23). Lalu
dengan mencela melalui pernyataan bahwa mereka itu hanya mengikuti
dugaan-dugaan, sedang dugaan-dugaan itu tidak hanya mengikuti dugaan-dugaan,
sedang dugaan-dugaan itu tidak berguna sedikitpun buat kebenaran (QS. An Najm
[53];28). Seterusnya Al-Quran memerintahkan agar mereka melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap sesuatu persoalan sebelum dipercayai, diikuti, dan
dibiasakan. (Q.S Al Isra [17]:26)
b.
Kedua, dengan
cara mengkaji aturan-aturan Allah yang terdapat di alam raya yang bentuknya
amat teratur. Dengan meneliti ini, selain akan dapat mengetahui hukum-hukum
alam yang kemudian melahirkan teori-teori dalam bidang ilmu pengetahuan juga
akan menimbulkan rasa iman dan takwa kepada allah sebagai pencipta alam yang
sedemikian indah dan penuh khasiat itu. Cara kedua ini akan timbul kebiasaan
untuk senantiasa menangkap isyarat-isyarat kebesaran Allah, dan melatih
kepekaan.
Dengan demikian, kebiasaan yang dipergunakan
oleh Al-Quran tidak terbatas hanya kebiasaan yang baik dalam bentuk perbuatan
melainkan juga dalam bentuk perasaan dan pikiran. Berkaitan dengan ini harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia siswa. Al-Ghazali, misalnya
menyarankan dipakainya metode yang berbeda antara anak-anak dengan orang
dewasa. Al-Ghazali berkata: “Kewajiban utama dari seorang pendidik ialah
mengajarkan kepada anak-anak, apa-apa yang mudah dan gampang dipahaminya, oleh
karena itu masalah-masalah yang pelik akan mengakibatkan kekacauan pikiran dan
menyebabkan ia lari dari ilmu.”(Al-Absary, 1974, hlm. 26). Isyarat ini dapat
dijumpai dalam Al-Quran tentang memberikan beban sesuai dengan kesanggupannya.
Quraisy Shihab (dalam Abdul Majid dan Dian
Andayani, 2012, hlm. 130) menyatakan bahwa ;
“proses pembiasaan yang pada akhirnya
melahirkan kebiasaan (habituation)
ditempuh pula dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi ajarannya.
Pembiasaan tersebut menyangkut segi adabtif maupun aktif. Tetapi perlu
diperhatikan bahwa yang dilakukan menyangkut kondisi kejiwaan yang berhubungan
erat dengan kaidah atau etika. Sedangkan dalam hal yang bersifat aktif atau
menuntut pelaksanaan, ditemukan pembiasaan tersebut secara menyeluruh”.
Proses pembiasaan harus dimulai dan
ditanamkan kepada anak sejak dini. Potensi ruh keimanan manusia yang diberikan
oleh Allah harus senantiasa dipupuk dan dipelihara dengan memberikan
pelatihan-pelatihan dalam beribadah. Jika pembiasaan sudah ditanamkan, maka
anak tidak akan merasa berat lagi untuk beribadah, bahkan beribadah menjadi
bingkai amal dan sumber kenikmatan dalam hidupnya karena bisa berkomunikasi
langsung dengan Allah dan sesama manusia.
Bertanggungjawablah kamu sekalian terhadap
anak-anakmu terhadap shalat dan ajarkanlah kepada mereka kebaikan. Karena
kebaikan itu menjadi mudah karena sudah dibiasakan. (HR. Baihaqi 3/84 h.n 4874)
4.
Ingatkan
Kegiatan ‘mengingat’ memiliki dampak yang
luar biasa dalam kehidupan. Ketika kita ingat sesuatu, maka ia akan
mengingatkan pula pada rangkaian-rangkaian yang terkait dengannya. Ingatan bisa
muncul karena kita mempunyai keinginan, kepentingan, harapan dan kerinduan
terhadap apa yang kalian ingat. Kegiatan
mengingat juga bisa memicu ide-ide dan kreativitas baru.
Selain itu juga, “Ingatkan” merupakan bagian
dari kegiatan memotivasi kembali sesuatu yang pernah dilakukan. Melakukan
kesalahan merupakan fitrah setiap manusia. Namun, dengan adanya kesalahan dapat
dijadikan pembelajaran untuk hari ke depan. Ketika seorang anak melakukan
kesalahan, ingatkan mereka bahwa perbuatan tersebut tidak baik untuk dilakukan.
Ingatkan agar anak tidak melakukannya kembali atau mengulangnya.
5.
Repetition
“Repetition artinya pengulangan” (Abdul Majid
dan Dian Andayani, 2013, hlm. 137). Abdul Majid dan Dian Andayani mengungkapkan
bahwa pendidikan yang efektif dilakukan dengan berulangkali sehingga anak
menjadi mengerti. Pelajaran atau nasehat apapun perlu dilakukan berulang
sehingga mudah dipahami oleh anak.
Penguatan motivasi atau dorongan serta
bimbingan pada beberapa peristiwa belajar anak, dapat meningkatkan kemampuan
yang telah ada pada perilaku belajarnya. Hal tersebut mendorong kemudahan untuk
melakukan pengulangan atau mempelajari kembali materi.
(Abdul Majid dan Dian Andayani, 2013, hlm.
137-139) menyatakan:
Fungsi utama dari pengulangan adalah untuk
memastikan bahwa siswa memahami pesyaratan-persyaratan kemampuan untuk suatu
mata pelajaran.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan
dalam melakukan pengulangan, diantaranya :
a.
Pengulangan harus
mengikuti pemahaman apa yang ingin dicapai dan dapat mempertinggi pencapaian
pemahaman tersebut. Siswa akan belajar dengan mudah dan mengingat lebih lama
jika mereka terus mengulang apa yang mereka pahami.
b.
Pengulangan akan
lebih efektif jika siswa mempunyai keinginan untuk belajar tentang apa yang
akan dilatihkan. Sangat penting bagi guru untuk memberikan situasi yang
bervariasi pada kemampuan, yang paling utama situasi dimana siswa dapat
mempergunakan kemampuan dan pengetahuan pada tahap belajarnya. Latihan
dihubungkan pada pengalaman, ketertarikan, dan penjelasan yang berhubungan
antara kemampuan dan pengetahuan yang akan dipelajari agar lebih maju dalam
belajar.
c.
Pengulangan harus
individual. Latihan harus diorganisasikan sehingga siswa dapat bekerja secara
independen pada tingkatannya sendiri berdasarkan kemampuannya masing-masing
dalam belajar.
d.
Pengulangan harus
sistematis dan spesifik. Prosedur sistematis, selangkah demi selangkah bagi
semua siswa, terutama siswa yang berkemampuan rendah.
e.
Latihan dan
pengulangan harus mengandung latihan-latihan untuk beberapa kemampuan.
f.
Pengulangan harus
diorganisasikan sehingga guru dan siswa dapat memperoleh umpan balik dengan
cepat.
6.
Organisasi
“Organisasi adalah suatu cara yang sistematis
untuk memadukan bagian-bagian yang saling tergantung menjadi suatu kesatuan
yang utuh di mana kewenangan, koordinasi, dan pengawasan dilatih untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan”. (Dimock, dalam Tangkilisan, 2005, hlm. 132).
Organisasikan yang dimaksud dalam penelitian
ini yaitu mengorganisasikan diri untuk mengendalikan emosi untuk tidak mudah
marah atau berkata-kata yang kasar ke peserta didik.
Guru harus mampu mengorganisasikan
kegiatan-kegiatan siswa yang dapat menanamkan nilai-nilai karakter siswa,
artinya seluruh kegiatan siswa itu selain menjadi pengetahuan dan pengalaman
bagi siswa serta harus bermanfaat bagi kehidupan. Pengorganisasian harus
didasarkan pada kebermanfaatan untuk siswa sebagai proses pendidikan menjadi
manusia menghadapi kehidupannya.
7.
Heart (Hati, Qalbu)
“Heart
adalah hati, dalam bahasa Arab yaitu qalb.
Makna dasar dari kata qalb adalah
membalik, kembali, pergi maju mundur, naik turun” (Sachiko Murata, dalam Abdul
Majid dan Dian Andayani, 2013, hlm. 140).
Imam Al-Ghazali (Ihya, 3, hlm. 4-6)
menyebutkan bahwa :
“qalbu memiliki dua perangkat, yaitu
perangkat zahir (hardware) dan
perangkat batin (software). Perangkar
zahir ialah seluruh anggota badan yang terlihat oleh pandangan-pandangan mata
zahir (al-absyar), yaitu: tangan,
kaki, mata, telinga, lidah, dan seluruh anggota badan zahir. Perangkat batin
ialah seluruh perangkat dalam jiwa manusia yang hanya terlihat oleh
pandangan-pandangan mata batin (al-bashdir),
seperti daya tangkap alat-alat indra. (pendengaran, penglihatan, penciuman,
penyentuhan, indera rasa), syahwat, dan marah. Juga daya-daya otak (dimagh) antara lain daya imajinasi,
daya fikir, daya ingat, daya hafal, dan daya rasa partisan. ‘ilm (daya
kognitif), hikmah (daya filsafat) dan tafakur (daya pikir) juga termasuk perangkat
kalbu yang bersifat batin”.
Makna dasar dari kata qalbu adalah membalik, kembali, pergi, maju-mundur, berubah, dan
naik turun, (Sachiko Murata, 1998, hlm. 377).
Menurut Sachiko Murata (1998, hlm. 377) bahwa
Qalbu terkadang dikuasai oleh petunjuk atau kesesatan. Ia terkadang memuat
serangkaian sifat positif, seperti petunjuk, iman, akal, pemahaman, cahaya,
kepastian, dan seterusnya. Hati terkadang terperangkap antar dua sisi cahaya
dan kegelapan, ruh, dan badan. Ia mungkin dikuasai oleh “Jiwa fana menguasai
kejahatan”. Dimana ia sepenuhnya gelap. Ia mungkin berdiri ditengah-tengah
antar ruh dan jiwa, di mana cahaya dan kegelapan bersaing.
Sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah
memiliki wadah-wadah yakni hati. Karenanya hati yang paling dekat dengan Allah
adalah hati yang paling lembut, jernih, dan keras. Berkenaan dengan hadist
diatas Abu Abdullah At-Tirmudzi mengatakan, “Kelembutan adalah rasa takut
kepada Allah, kejernihan hati adalah diperuntukkan bagi yang karena Allah, dan
kerasnya hati diperlukan dalam berpegang teguh terhadap asma Allah”. (Abdul
Majid, 2012, hlm. 139)
Heart yang dimaksud dalam
penelitian ini yaitu sentuh hati peserta didik. Artinya peserta didik
ditanamkan nilai-nilai kesopanan dengan menyentuh hatinya dengan lembut, jernih,
dan bahkan keras jika peserta didik itu melakukan kesalahan. Serta dalam
menanamkan niali-nilai kesopanan seperti bertutur kata yang sopan (tidak
berkata kasar), menuruti segala perintah guru, serta menuruti tanpa membantah
terhadap sesuatu yang diperintahkan guru dengan hati yang ikhlas.