Karakter-Kompetensi Pebelajar Pada Mahasiswa PGSD
Karakter. Konsep karakter yang penulis usulkan untuk
pengembangan kinerja pebelajar para (calon) guru adalah sebagaimana yang
diusung oleh Lickona (dalam Kesuma, 2011).
Secara garis besar karakter terbentuk oleh tiga dimensi: perasaan moral,
pengetahuan moral, dan tindakan moral.
Perasaan moral antara lain adalah kemampuan merasa bersalah jika melakukan
perbuatan tidak/kurang bermoral dan merasa berbahagia jika dapat melakukan
perbuatan baik. Pengetahuan moral antara
lain kemampuan literasi moral dan berargumentasi moral. Dan, tindakan moral terdiri atas: kompetensi,
kemauan, dan kebiasaan. Pengetahuan
moral dan perasaan moral merupakan faktor-faktor pendukung bagi tindakan moral. Konsep karakter Lickona cukup rinci dan operasional hingga membantu kita
merumuskan ICK (Indikator Capaian Kompetensi).
Konsep karakter pebelajar yang akan dikembangkan di sini terutama
bertumpu pada konsep tindakan moral dari Lickona tersebut.
Belajar. Konsep belajar barangkali dapat dianggap
sebagai terdiri atas dua golongan: (1) menguasai Iptek yang ada dan (2)
penciptaan Iptek baru. Terdapat
kecenderungan bahwa belajar utamanya adalah penguasaan Iptek yang ada. Belajar menjadi identik dengan memorisasi;
kemudian uji kemampuan memorisasi ini adalah melalui tes tulis yang ditujukan
kepada reproduksi verbal (melalui kata-kata) Iptek. Istilah ‘ulangan’ di dunia persekolahan kita,
kental dengan asosiasi reproduksi ini.
Jadi, jika kurikulum kita adalah kurikulum berbasis kompetensi, praktik
ulangan ini seharusnya tidak lagi mendapat tekanan. Kurikulum berbasis kompetensi ujiannya seharusnya
adalah uji kinerja; dan uji tulis hanya sebagai pelengkap (Spencer &
Spencer, dalam Kesuma, 2011). Uji
kinerja seorang calon pengacara hukum bukan melalui tes tulis yang menuntut
kemampuan reproduksi (menghafal) pasal-pasal hukum, tetapi adalah melalui
praktik menjadi pembela di pengadilan, atau situasi lain yang mengarah kepada
situasi nyata ini. Demiki anlah, dapat
disimpulkan konsep belajar golongan pertama, menguasai Iptek yang ada, tidaklah
cocok untuk kurikulum berbasis kompetensi.
KONSEP BELAJAR
|
|
BELAJAR SEBAGAI PENGUASAAN
IPTEK
|
BELAJAR SEBAGAI
PENCIPTAAN IPTEK
|
Proses
|
|
(1)
Proses memorisasi kata-kata secara selingkung, verbalisme, bertumpu pada
kemampuan mengingat (C1, Bloom).
(2)
Proses memorisasi makna, bertumpu khususnya pada kemampuan berpikir memahami (C2, Bloom).
|
Proses
sebagaimana ilmuwan besar menemukan/menciptakan pengetahuan, proses
penelitian, proses menjawab pertanyaan melalui pengumpulan data secara kritis,
proses pemecahan masalah secara kritis.
|
Motivasi
|
|
Motivasi
bersifat ekstrinsik, belajar untuk dapat lulus tes, atau, untuk kepentingan
reproduksi pengetahuan.
|
Motivasi
belajar bersifat intrinsik, belajar dalam rangka memenuhi dorongan rasa ingin
tahu, keinginan memecahkan masalah, keinginan mengemansipasi kehidupan.
|
Kemanfaatan
|
|
(1)
Belajar ditujukan untuk lulus tes tulis.
(2)
Belajar dapat membangun kebergantungan pada buku atau ilmuwan.
(3)
Belajar dalam rangka pelestarian budaya yang ada, struktur sosial yang ada,
termasuk pelestarian struktur sosial penindasan karena gagal-kembangnya sikap
kritis.
|
(1)
Belajar untuk memenuhi rasa ingin tahu (sebagaimana dinyatakan oleh psikologi
Barat); tetapi sebaiknya, belajar dalam rangka emansipasi kehidupan.
(2)
Belajar dapat merupakan pembebasan, membangun kemandirian, otonomi diri,
termasuk kemandirian belajar atau berpikir.
(3)
Belajar dalam rangka transformasi sosial; belajar potensial menghasilkan
inovasi-inovasi.
|
Aktivis
|
|
Produksi
pengetahuan dilakukan oleh segelintir elit di pusat-pusat riset dan
universitas-universitas (elitisme riset); dan orang awam dan kalangan
persekolahan adalah sebagai konsumen pengetahuan.
|
Siapapun
yang memiliki kesempatan menemukan atau menemukan pengetahuan, atau
memecahkan masalah, tidak harus ilmuwan (demokratisasi riset).
|
Konsep
belajar golongan kedua, menciptakan Iptek baru, adalah ke giatan belajar
sebagaimana disarankan oleh Paulo Freire (dalam Kesuma, 2013), Jarvis (1992),
pendekatan saintifik, dan pendekatan metakognisi (Marzano & Kendall, 2008). Penciptaan Iptek baru tidak selamanya berarti
sebagamana kata-katanya itu sendiri, bisa saja merupakan penciptaan ulang atau
penemuan ulang, atau bentuk-bentuk lainnya.
Mengenai bentuk lain Iptek ini perlu eksplorasinya lebih jauh agar kita
dapat mendeskripsikan apa saja bentuk-bentuk lain ini. Melalui diskusi dengan para mahasiswa yang
sedang menyusun skripsi riset tindakan kelas, penulis menemukan sebuah bentuk pemerkayaan-penambahan pengetahuan
sehubungan dengan masalah spesifik-kontekstual yang dihadapi mahasiswa dalam
situasi konkrit.
Paulo
Freire (dalam Kesuma, 2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan memiliki dua
siklus, siklus ketika Iptek ditemukan atau diciptakan, atau siklus produksi
pengetahuan; dan siklus ketika pengetahuan dikonsumsi. Produksi pengetahuan biasanya dilakukan oleh
pusat penelitian atau universitas dan konsumsi pengetahuan ialah oleh orang
awam atau persekolahan. Dengan demikian
terjadilah konsep belajar (di kalangan awam dan persekolahan) yang diidentikkan
dengan konsumsi pengetahuan. Konsep
belajar menjadi identik dengan memorisasi pengetahuan.
Karakter pebelajar
(1) Rasa ingin tahu-keinginan
mengemansipasi.
Rasa ingin tahu alami adanya pada setiap orang. Ia adalah bagian tak-terpisahkan dari manusia
ketika ia menghadapi sesuatu yang asing, baru, tantangan, ancaman, kesenjangan,
dan masalah. Freire (dalam Kesuma, 2013)
menyebut manusia ialah makhluk in search,
makhluk yang mencari, dibantu oleh rasa ingin tahunya. Banyak tulisan psikologi belajar Barat
menyatakan bahwa motivasi intrinsik belajar adalah rasa ingin tahu. Penulis menduga formulasi yang demikian
terkait erat dengan epistemologi tradisional Barat bahawa pengetahuan itu
netral. Sebaiknya kita memiliki persepsi
yang lebih baik tentang motivasi belajar ini, yaitu, keinginan mengemansipasi
kehidupan. Persepsi emansipatif ini
memadukan pengetahuan dengan kepentingan pemuliaan manusia (humanisasi). Niat orang belajar adalah membuat kehidupan
menjadi lebih baik, pembaikan kehidupan.
Memang pengetahuan, pengetahuan yang valid, adalah bagian
tak-terpisahkan dari aktivitas emansipasi.
Penulis menyarankan bahwa banyak
(bukan semua) ikhtiar manusia sebaiknya melalui pendekatan saintifik.
(2) Kompetensi belajar. Menurut Freire, kompetensi belajar adalah
kompetensi mem-problematisasi kehidupan, apapun yang anda hadapi dalam rangka
mempelajarinya. Problematisasi dilakukan
dalam rangka pencarian pengetahuan, kehidupan yang lebih baik. Problematisasi yang berhasil dilakukan oleh
orang yang perkembangannya sudah berada pada tahapan kesadaran kritis. Orang
dengan kesadaran ini berupaya mencari the
reason for being (penyebab, alasan keberadaan) dari apa yang dihadapinya,
konektivitasnya dengan fenomena lainnya...dengan konteks keberadaannya. Pencarian ini dilakukan secara
analitik-kritis, dalam rangka pencarian pengetahuan valid-reliable, juga transformasi kehidupan. Orang dengan kesadaran ini
adalah ilmuwan kritis.
Freire
(dalam Kesuma, 2013) mengungkapkan bahwa pengetahuan memiliki dua dimensi, the reason for being dan technicalities dari fenomena. Bagi kesadaran
naif, tahapan yang lebih rendah dari kesadaran kritis, kedua dimensi
pengetahuan itu tidak ditangkapnya.
Orang dengan kesadaran ini terperangkap dalam pengetahuan hasil
pengamatan awam tanpa pernah mempertanyakan validitas-reliabilitas pengetahuan. Perasaannya pun kedap dari keingintahuan. Sama halnya dengan mereka yang berada pada
tahapan kesadaran magis. Mereka ini menganggap bahwa setiap fenomena
dan termasuk dirinya berada di bawah pengaruh kekuatan supernatural, lalu dirinya tidak memiliki ikhtiar apapun yang dapat
mempengaruhi jalan kehidupannya. Mereka
adalah manusia fatalistik.
Kompetensi
belajar dalam Kurikulum 2013 adalah kemampuan mengimplementasikan pendekatan
saintifik (pendekatan 5 M) dalam belajar.
Ini kurang-lebih sama dengan ide metode belajar problem solving yang disarankan oleh John Dewey tahun 1930-an dan
Jeromme Bruner tahun 1960-an dengan pendekatan inquiry dalam belajar. Ketiganya
penulis kira dapat direpresentasikan oleh langkah-langkah 5 M berikut.
PENDEKATAN SAINTIFIK
|
|
Langkah esensial
|
Skenario pemelajaran
|
M1,
mengamati
|
Mengamati,
menggeluti fenomena.
|
M2,
menanya
|
Memunculkan
pertanyaan, ide, hipotesis.
|
M3,
mencoba
|
Menjawab
pertanyaan, mencobakan ide atau hipotesis dalam rangka pengumpulan data.
|
M4,
mengolah data
|
Melakukan
interpretasi terhadap data, menemukan dan merumuskan makna/pola/tema/konsep
pada data; menyajikannya dalam bentuk narasi, grafik, tabel, matriks, dan
diagram.
|
M5,
mengomunikasi
|
Mempresentasikan
hasil pengolahan data.
|
Diadaptasi
dari Kurikulum 2013
Menurut
penulis langkah-langkah yang paling esensial dari pendekatan saintifik tersebut
adalah Menanya dan Menjawab. Ketika
menghadapi sebuah fenomena dalam rangka mempelajarinya seseorang harus
memunculkan pertanyaan, ide, atau hipotesis.
Kemudian menjawabnya dengan cara mencobakannya, mempraktikkannya, dan
mengamatinya.
M1,
mengamati
|
Menanya
|
M2,
menanya
|
|
M3,
mencoba
|
Menjawab
|
M4,
mengolah data
|
|
M5,
mengomunikasi
|
Pendekatan
metakognisi dalam belajar (Marzano & Kendall, 2008) dapat dianggap sebagai
membuat eksplisit apa yang dialami oleh pebelajar ketika menerapkan pendekatan
saintifik tersebut. Ketika menerapkan
pendekatan saintifik, seseorang bukan hanya menerapkannya tetapi juga memantau
proses dan hasilnya, atau sekurang-kurangnya hal ini dapat dilakukan oleh
seseorang. Atau, Marzano & Kendall
tersebut menyediakan lapisan kedua (second
order) yang terletak di atas operasi-operasi berpikir saintifik tersebut. Diagramnya dapat dibaca di bawah ini.
PROSES SAINTIFIK
|
PROSES METAKOGNISI
|
SKENARIO
PEMELAJARAN METAKOGNISI
|
M1,
mengamati
|
Mengamati,
menggeluti fenomena.
|
|
M2,
menanya
|
Mk1,
Menspesifikasi tujuan
|
Memunculkan
pertanyaan, ide, hipotesis; dan merancang pembuktiannya.
|
M3,
mencoba
|
Mk2,
Memantau proses
|
Menjawab
pertanyaan dengan mencobakan, mempraktikkan, dan mengamatinya. Sementara itu, juga memantau prosesnya,
dengan cara diskusi kelompok.
|
M4,
mengolah data
|
Mk3,
Memantau hasil
|
Melakukan
interpretasi terhadap data, menemukan dan merumuskan makna/pola/tema/konsep
pada data; menyajikannya dalam bentuk narasi, grafik, tabel, matriks, dan
diagram. Juga, memantau hasil-hasil
pengolahan data, dengan cara diskusi kelomok.
|
M5,
mengomunikasi
|
(Proses metakognisi diadaptasi dari Marzano
& Kendall, 2008)
(3) Kemandirian. Kemandirian penulis duga sebagai sisi afektif
dari kompetensi belajar yang dipaparkan di atas. Ketika orang menjadi semakin relatif kompeten
dalam belajar, dalam menerapkan proses belajar metakognisi, maka ia menjadi pribadi
yang mandiri. Ia menjadi terbebaskan
dari kebergantungannya secara buruk kepada pihak lain, ia menjadi pribadi bebas. Ia menjadi paham bertindak sebagai seorang
profesional. Kemandirian juga punya sisi
buruk, barangkali sikap individualistik dan egoisme. Kemandirian yang dimaksudkan di sini adalah
kemandirian kolaboratif dengan siapapun.
Penulis
menduga masih sedikit orang yang paham akan kemandirian atau kemerdekaan diri
ini. Masih banyak orang memosisikan diri
sebagai operator dalam kehidupan kerjanya, bukan pengembang atau pebelajar-transformatif
(guru pebelajar). Indikator
kebergantungan secara eksklusif pada pihak lain dalam bekerja penulis temukan
di kelas-kelas PGSD dan PPG tempat penulis bekerja. Salah satunya, ketika penulis memperkenalkan
sebuah prosedur kerja yang tidak ada dalam pedoman atau peraturan yang
diterbitkan pemerintah, seorang mahasiswa bertanya, “SK Dirjen-nya apa pak
prosedur yang bapak sampaikan itu?”
Mahasiswa ini seakan mengasumsikan bahwa setiap alat/prosedur kerja
harus dilandasi oleh peraturan pemerintah.
Yang lebih parah lagi adalah anggapan bahwa semua alat kerja bukan guru
yang menciptakannya, tetapi adalah pihak lain.
Sebuah
ilustrasi lagi. Ketika penulis
meng-kritik sebuah tayangan sosialisasi Kurikulum 13 dan mengajukan
alternatifnya, seorang mahasiswa penulis merespon: “Kami ikut yang mana, yang
punya pemerintah atau yang bapak usulkan?”
Ia maunya menjadi pengikut.
Penulis menjawab, sebuah jawaban untuk membangun kemandirian dalam
belajar atau berpikir, “Kita harus ikut argumentasi, demonstrasi, pengujian,
pembuktian yang lebih baik”. Kedua
pemikiran tersebut harus diuji oleh para (calon) guru yang akan menggunakannya.
Seorang
profesional itu seharusnya memiliki kemandirian dalam bekerja, dan ini tidak
harus dipersepsi sebagai menentang peraturan yang ada. Justru sebaliknya, kemandirian seorang
profesional adalah sebuah ide penting yang harus diusung oleh pemeritah agar
lebih terjadi perkembangan sebuah profesi.
(4) Kemauan. Kemauan harus ditumbuhkan sendiri oleh
masing-masing individu pebelajar. Tanpa
kemauan kuat kompetensi-karakter pebelajar tidak akan tumbuh. Pihak luar (pendidik dan rekan) peranannya
adalah fasilitasi, membangun lingkungan sosiobudaya yang kondusif untuk kuatnya
kemauan.
(5) Kebiasaan. Kebiasaan adalah produk dari pembiasaan. Apa yang dibiasakan adalah empat subdimensi
karakter yang dideskripsikan di atas.
Secara demikian kebiasaan dalam kasus ini akan merupakan keberulangan
atau kecenderungan kuat empat subdimensi karakter yang dikembangkan.
Indikator Capaian Kompetensi
(ICK). Demikianlah,
sejauh ini sudah dipilih beberapa sub-dimensi dari kompetensi-karakter
pebelajar. Pemilihannya berdasarkan persepsi penulis tentang kebutuhan
mahasiswa penulis, terutama mahasiswa PPG SD (Pendidikan Profesi Guru Sekolah
Dasar), di samping berdasarkan pemikiran Lickona.
KARAKTER-KOMPETENSI
PEBELAJAR
|
INDIKATOR
CAPAIAN KOMPETENSI
|
|
Kebiasaan
|
Rasa
ingin tahu-keinginan meng-emansipasi
|
·
Selalu memunculkan pertanyaan signifikan.
·
Selalu berupaya mencari informasi secara mandiri.
·
Selalu prihatin melihat kelemahan/kekurangan.
·
Selalu berupaya kontributif atas diri sendiri dan
pihak lain.
|
Kompetensi
belajar
|
·
Selalu memunculkan masalah/pertanyaan spesifik, ide,
atau hipotesis atas fenomena yang sedang dipelajari.
·
Selalu melakukan upaya-upaya untuk menjawab
permasalahan yang dihadapinya.
·
Selalu mendiskusikan hasil kerja dalam rangka
memantau proses/hasil belajarnya.
·
Selalu memiliki peningkatan skill & knowledge.
|
|
Kemandirian
|
·
Selalu mampu merancang pengujian atas teori yang
ada.
·
Selalu mampu melaksanakan pengujian atas teori yang
ada.
·
Selalu menghargai/menerima argumentasi yang lebih
baik.
·
Selalu berupaya memenuhi kebutuhan belajar rekan.
|
|
Kemauan
|
·
Selalu memiliki respon positif-kontributif atas
permasalahan sendiri dan lingkungannya.
|
Disain Pengembangan Karakter-Kompetensi
Pebelajar. Di sini akan
disajikan secara sangat ringkas bagaimana Karakter-Kompetensi Pebelajar dapat
dicapai.
Silabus
dan bahan ajar PPG SD.
|
Proses
belajar: Skenario pemelajaran metakognisi.
|
Hasil
belajar bahan ajar PPG, atau, ketercapaian ICK PPG SD
|
Hasil
belajar Karakter-Kompetensi Pebelajar, atau, ketercapaian ICK PPG
|
Silabus dan bahan ajar PPG SD. Silabus dan bahan ajar PPG SD disediakan
dalam rangka mencapai empat kompetensi guru profesional sebagaimana digariskan
oleh Kurikulum PPG SD: (1) kompetensi
profesional, (2) kompetensi pedagogik, (3) kompetensi pribadi, (4) kompetensi
sosial.
Proses belajar: Skenario pemelajaran
metakognisi.
Pemelajaran metakognisi pada dasarnya merupakan pendekatan self-learning atau belajar melalui
refleksi, dan dalam PPG ini
pelaksanaannya dalam kelompok-kelompok kecil.
Karena itu cara belajar yang demikian ini dapat juga disebut belajar
melalui refleksi-kolaboratif. Disebut self-learning karena kebutuhan belajar
(oleh Marzano & Kendall disebut sebagai “penspesifikasian tujuan”) dan
pemenuhan kebutuhannya dan pemantauannya dilakukan oleh mahasiswa sendiri,
peranan dosen pembimbing utamanya sebagai fasilitator atau juga mitra belajar. Kegiatan belajar yang demikian juga diarahkan
melalui LK (lembar kegiatan) yang disebut sebagai Jurnal Reflektif.
Hasil belajar. Hasil belajar para mahasiswa terdiri atas (1)
hasil belajar bahan ajar PPG SD dan (2) hasil belajar proses/keterampilan
metakognisi. Hasil belajar dievaluasi
melalui evaluasi terhadap jurnal reflektif, portofolio (tugas), dan tes tulis
kognitif. Tes tulis kognitif mencakup pre-test, mid-test, dan post-test.
Tes tulis kognitif ini berfungsi untuk triangulasi hasil belajar
para mahasiswa.